Kamis, 06 Agustus 2009

cerpen Gelap N Cahaya

“Velice?” Suara itu samar-samar tertangkap indera pendengarannya. Tubuhnya lemas, ia tidak yakin ia masih hidup, tapi kalau boleh ia ingin berusaha tetap hidup untuk menemui wajah-wajah yang disayanginya. Matanya berat, tapi ia yakin ia bisa membukanya dan ia akan berusaha membukanya. Usahanya berhasil, matanya berhasil terbuka sedikit dan kesadarannya perlahan bangkit. “Velice?” Nada terkejut dan bahagia terdengar dari sosok yang amat dikenalinya. “Kakak?” Ucapnya lirih. “Kakak nggak menyakiti Rando kan?” Virion tersenyum, manis sekali. “Kakak nggak mungkin menyakiti orang yang menyelamatkan nyawa kamu!” Kakaknya menerawang. “Kakak sudah menyesal!” “Ini baru kakak yang aku sayang!” Ujar Velice salut, terharu karena pengorbannya berhasil. Rando memasuki ruangan, Velice menatapnya senang. Lalu mengingat semua peristiwa yang udah terjadi, ia jadi merasa bersalah membawa Rando masuk ke dunianya yang rumit. “Rando, maaf ya! Inilah kenyataan yang selama ini gue sembunyikan. Kakak gue pembunuh dan maaf, hampir aja lu jadi korbannya! Gue nggak akan salahin lu kalau lu menjauhi gue!“ “Nggak apa-apa, gue udah bisa terima ini kok! Gue sayang lu Vel, jadi jangan pikir gue terpaksa berteman dengan lu! Lu tetap sahabat terbaik dan terunik gue kok!“ Rando menenangkan. “Dan buat pernyataan cintalu waktu itu! Maaf Do! Mungkin gue sempat berfikir gue cinta sama lu, dan mungkin itu benar! Tapi ternyata gue nggak senormal yang lu pikir, gue terobsesi sama orang di sebelah gue ini!“ Velice melirik Virion yang tersanjung. “Dan gue baru sadar, nggak ada yang lebih gue cintai daripada dia!“ Mata Velice menampakkan kesungguhan. “Nggak apa-apa! Gue tetap ikhlas bantulu! Apapun yang bisa gue bantu, minta tolong aja ke gue karena gue ikhlas sayang sama lu! Kita tetap sahabat kan!“ Rando meyakinkan. “Gue benar-benar baru ketemu orang kayaklu do!“ Mata Velice berbinar kagum. Tiba-tiba dari luar ruangan terdengar suara gaduh. Seolah segerombolan orang berjalan menghampiri tempat mereka. Seperti mendengar aba-aba, Virion segera memeluk dan mencium kening Velice yang kebingungan. Muncullah rombongan-rombongan berseragam polisi yang mulai memasuki kamar rawat itu. “Kakak! Kakak!” Velice panik, segera terduduk melihat kakaknya diringkus dengan cepat, kakaknya tidak melawan. “Rando!” Mata Velice menuduh ke satu arah, yang dituduh menggeleng dengan panik dan bingung. “Bukan karena dia Vel!” Ucap kakaknya dengan nada bijak. “Ternyata polisi lebih pintar daripada yang kita duga!” Aku Virion lembut. “Maaf dik! Saya harus menahan orang ini, ini surat penangkapannya!“ Jawab salah satu dari mereka memberikan surat itu ke Velice. Virion masih sempat memberinya senyuman lembut nan bijak sebelum dibawa pergi gerombolan itu. Dan Velice sadar, konsekuensi hukuman dari perilaku kakaknya selama ini bisa merenggut kakaknya selamanya. “Nggak mau! KAKAK! KAKAK!“ Velice mengamuk histeris, lupa dengan rasa lemasnya. Ia lepas jarum infus dari tangannya walau sudah ditahan oleh Rando. Ia coba mengejarnya dengan menyeret-nyeret Rando yang menahan tangannya. “KAKAAAK!” Teriak Velice histeris. Dan disinilah mereka sekarang, berbalut pakaian serba hitam, menebarkan bunga bersama pelayat lain di atas pusara yang masih basah. Tanpa kenal kasihan, pihak berwajib menghukum Virion dengan mengeksekusi matinya. Velice tak berhenti menangis sesenggukan di sebelah Rando yang menenangkannya. Rando meminjamkan bahunya untuk sandaran Velice. Velice merasa gelap itu sudah pergi, gelap yang menenangkannya dan dicintainya hingga rela mati. “Sabar Vel, lu harus kuat! Harus bertahan! Kakaklu pasti nggak mau lu jadi lemah begini!“ Rando menenangkannya. “Ingat ucapan gue, dia lihat lu sekarang! Dia sedih lihat lu sedih, jangan bikin dia tambah merasa bersalah lagi Vel!“ Rando mengeluarkan jurus menghiburnya. “Lu nggak ngerti rasanya Do!“ Velice meremehkan. “Loh, lu lupa? Gue yang ngerasain itu lebih dulu daripada elu, gue pernah kayaklu!“ Rando mengingatkan Velice tentang masa lalunya. “Remember? Life must go on, atau pengorbanan kakaklu menjagalu selama ini akan sia-sia! Lu mau membuat perjuangannya sia-sia?” Velice menggeleng lemah. Rando memeluknya, bersimpati kepada nasibnya. “Apapun yang terjadi lu nggak sendiri, masih ada gue disini! Gue tetap sayang sama lu, gue yang bakal menjagalu, walau mungkin dengan cara yang berbeda!“ Rando berjanji. Velice berjongkok mendekati gundukan tanah itu. “Kak, I love you! Aku janji aku akan kuat buat kakak biar kakak bangga! Nggak ada yang menggantikan kakak di hatiku!” Rando menggandengnya berjalan meninggalkan kuburan itu. Gelap itu telah terkubur, gelap yang berharga sekaligus mencekamkan bagi Velice telah meninggalkannya. Kini Velice berjalan meninggalkan gelap, menuju hidup yang lebih terang, didampingi cahaya di sampingnya. Cahaya itu berjanji akan mencerahkan wajah Velice yang berkali-kali dikelamkan rasa tertekan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar